Rumah Saraung
Di Sulawesi Selatan, industri perbukuan dimulai dari
universitas di medio 90-an dan baru
mulai begeser ke lembaga swasta di awal tahun 2000-an. Semua itu dipicu
perkembangan teknologi cetak yang membuat ongkos produksi bisa ditekan
seminimal mungkin.
Sejarah Singkat
PROYEK penerbitan
majalah sastra, kemudian buku, di bawah bendera Lentera harus dimuseumkan.
Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pangkal masalahnya bukan pada
konflik perebutan kekuasaan apalagi pertengkaran menyangkut uang. Juga, jangan
bayangkan adanya gesekan perbedaan cara pandang.
Kami, yang pernah
sama-sama mendirikan Lentera tetap menjalin keakraban, malah semakin sublim.
Ulasan mengenai kiprah Lentera sebagaimana saya tulis di Pocer Dot Co. Lentera: Upaya Menjadi Pelopor Penerbitan di
Tanah Pangkep (http://pocer.co/read/lentera-upaya-menjadi-pelopor-penerbitan-di-tanah-pangkep atau https://kamar-bawah.blogspot.com/2018/06/lentera-upaya-menjadi-pelopor.html)
tayang pada 9 Februari 2017 lalu sudah cukup menjelaskan.
Dan, kini, penerbitan
Rumah Saraung, masih berkedudukan di Pangkep, juga tak bisa dikatakan
reinkarnasi dari Lentera. Walau semangatnya, sepenuhnya tak bisa lepas dari
Lentera.
Jadi, begini ceritanya:
Memang, niat
menerbitkan buku menggunakan bendera Lentera sempat terbersit, dan bahkan,
sudah disiapkan sejumlah naskah. Hanya karena kelengkapan legalitas lembaga
maka nama Lentera urung dipakai kembali. Ini tentu menyedihkan. Tak satu pun
dari kami menyimpan Akta Notaris lembaga yang menjadi salah satu syarat
pengajuan ISBN ke Perpustakaan Nasional.
Salah satu anggota
sempat menyimpan kopiannya. Setelah dibaca saksama, kami harus sadar kalau isi
akta itu sudah tidak memungkinkan menjadi acuan. Tak perlulah saya jelaskan
sedetail mungkin. Intinya, saya dan seorang rekan bernama Badauni AP,
berinisitif membentuk lembaga baru saja.
Lagi pula, mengenai
anggota Lentera yang lain sudah pada tenang dengan profesi masing-masing dalam
menunjang kehidupan keluarga mereka. Melibatkan mereka kembali adalah sama
halnya dengan mengulang kejadian yang sudah-sudah. Saya dan Uni, sapaan Badauni
AP, meyakini kalau teman-teman di Lentera tidak bakal protes mengenai hal ini.
Mengingat sebelumnya,
kami berlima, di luar Lentera: saya, Uni, Pio, Zul, dan Ramez sepakat membentuk
media daring Saraung Dot Com di tahun 2016. Nah, mengapa tidak nama penerbitan
mengacu dari nama media itu. Lagian, media itu belum memiliki legalitas.
Akhirnya, dengan adanya sisa dana kegiatan ditambah patungan biaya antara saya,
Uni, dan Pio, Akta Notaris diurus memakai nama Rumah Saraung. Maksudnya, tentu
saja, legalitas atas nama Rumah Saraung mewadahi media Saraung Dot Com dan
Rumah Saraung sendiri sebagai nama penerbitan.
_
Memasuki usia setahun
Saraung Dot Com, beberapa naskah dikurasi untuk dibukukan. Rencananya akan
diluncurkan di perayaan satu tahun. Hanya saja, niatan itu tidak terwujud,
sejak disiapkan pada Februari lalu, buku itu baru naik cetak di bulan Mei.
Malah, naskah seorang teman, Nhany Rachman Khan lebih dulu diterbitkan dan
diluncurkan pada 24 Mei lalu (http://saraung.com/membincang-catatan-nhany-di-pangkep-nol-kilometer/ atau https://kamar-bawah.blogspot.com/2018/02/membincang-catatan-nhany-di-pangkep-nol.html).
Belajar dari
pengalaman sebelumnya, ketika masih menggunakan nama Lentera, metode cetak buku
masihlah menempuh sistem Print On Demand (POD) dan dipasarkan secara daring.
Pre Order kami buka begitu buku sudah dipastikan naik cetak.
Tantangannya tentu
saja ada pada modal produksi sehingga sistem POD menjadi pilihan. Di Rumah
Saraung kami bekerja semrawut. Membaca ulang naskah secara bergantian antara
saya dan Uni. Ahmad Ardian, seorang teman, kami pakai jasanya untuk membuat
desain kover dengan bayaran standar pertemanan. Ahyar Manzis, dulunya menjabat
Direktur Eksekutif di Lentera juga ditugasi memeriksa aksara. Semuanya tanpa
kontrak yang jelas mengenai apakah nanti akan menerima bayaran.
Intinya, kami main
tunjuk saja sesuka perut. Kata pengantar untuk buku Catatan Nhany karya Nhany
Rachman Khan, misalnya, Zul saya kirimi pesan pendek melalui WhatsApp
mengutarakan maksud. Belum juga menyanggupi, saya sampaikan lagi kalau draf
naskah sudah saya kirimkan ke emailnya.
Hal yang sama berlaku
pada Rahmat HM, Founder Pangkep Initiative, komunitas yang memulai perpustakaan
jalanan di Pangkep. Padanya saya meminta membubuhkan endorsement. Hasilnya, Zul dan
Rahmat senang mendengar mengenai penerbitan buku itu. Dan, kun fayakun, maka jadilah catatan
pengantar dan endorsement itu.
Setali tiga uang
dengan buku kurasi naskah yang pernah tayang di Saraung Dot Com. Salah satu
hasil jepretan teman, Andi Agussalim mengenai aktivitas warga di Kampung
Toli-Toli kala air Sungai Pangkajene surut sedang mencari siput kecil dijadikan
gambar sampul yang dikerjakan oleh Ahmad Ardian.
Agus sangat bahagia
dengan pemilihan fotonya itu. Ya, ia bahagia tanpa tendensi apa pun. Buku ini
selanjutnya dijuduli Kenali Pangkepmu: Beberapa Hal yang Perlu Diketahui. Direktur
Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR Sulawesi Selatan), Abdul Karim
yang memiliki ikatan emosional dengan Pangkep karena lembaganya pernah
mengelola program Sekolah Demokrasi selama tiga tahun (2010-2012) di Pangkep
ditugaskan memberi endorsement.
Kini, dua buku
terbitan Rumah Saraung telah dirilis dan menjumpai pembacanya. Dengan demikian,
Rumah Saraung bukanlah rumah makan sebagaimana disematkan seseorang ketika kami
memesan stempel penerbitan.
“Oh, mauki bikin
rumah makan,” ujarnya
dalam dialek Makassar ketika file logo saya serahkan.
Kira-kira begitulah
secara singkat hal ikhwal penerbitan Rumah Saraung. Disadari sekali lagi,
penerbit ini mengupayakan penerbitan buku di Pangkep, kota kecil berjarak
sekitar 50 km di sisi utara kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan yang
hampir bisa dikatakan tidak ada toko buku di sana, khususnya jika itu dimaknai
ruang yang semata menjual buku beraneka genre.
Perlu diketahui pula
bahwa Pangkep di Sulawesi Selatan sangat dikenal sebagai daerah penghasil ikan
bandeng dan kuliner Sop Saudara. Karena itulah rumah makan di Pangkep sangat
mudah dijumpai.
Namun, sekali lagi,
saya tegaskan bahwa Rumah Saraung adalah nama penerbit, bukan rumah makan.
_
Komentar
Posting Komentar